Sunday, 8 January 2023

[Menyibukkan Diri Dengan Ilmu Atau Amalan]

 

 [Menyibukkan Diri Dengan Ilmu Atau Amalan]


Berkata Al Imam As Sa'diy رحمه الله:
Termasuk dari sebab untuk menolak kegoncangan yang timbul dari lemahnya syaraf dan sibuknya hati dengan beberapa kekeruhan adalah: menyibukkan diri dengan amalan-amalan, atau dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Yang demikian itu karena ilmu dan amalan akan melalaikan hati dari bersibuk-sibuk dengan perkara yang menggoncangkannya tadi. Dan boleh jadi dengan sebab-sebab ilmu dan amalan tadi dia menjadi melupakan faktor-faktor yang mendatangkan kegundahan dan kegelisahan, sehingga jiwanya menjadi gembira dan bertambah semangat.

Sebab jenis ini dimiliki oleh orang Mukmin dan juga orang yang bukan Mukmin. Akan tetapi orang Mukmin teristimewakan dengan sebab keimanannya, keikhlasannya dan harapannya pada pahala Allah di dalam kesibukannya dengan ilmu yang dia pelajari atau dia ajarkan tadi, dan dengan amal kebaikan yang dia kerjakan tadi.

Jika amalan tadi adalah ibadah maka dia itu bernilai ibadah(¹). Dan jika amalan tadi berupa kesibukan duniawi atau tradisi namun diiringi dengan niat yang baik dan maksud untuk membantu diri sendiri dalam menaati Allah (maka hukumnya adalah ibadah juga –pen) (²).

Maka hal itu akan memiliki pengaruh yang aktif di dalam menolak kegundahan, keresahan dan kesedihan. Alangkah banyaknya orang yang diuji dengan kegoncangan dan kekeruhan yang berlangsung terus-menerus, sehingga dia tertimpa penyakit-penyakit yang beraneka ragam, kemudian jadilah obat yang bermanfaat baginya adalah: dia melupakan penyebab keruh dan goncangnya hati, dan obatnya adalah: dia menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas-tugas penting yang dimilikinya.

Dan seharusnya kesibukan yang dia kerjakan tadi adalah kesibukan yang telah diakrabi dan dirindukan oleh jiwanya, karena yang demikian itu lebih menarik dirinya untuk mendapatkan tujuan yang bermanfaat tadi. Wallahu a’lam.
-----------------

Catatan kaki Penulis ( Abu Fairuz ):
(¹) Al Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “... dan bahwasanya hati itu tidak menjadi baik kecuali dengan menyembah Allah semata. Dan hati tidak punya kesempurnaan, kebaikan, keledzatan, kegembiraan, keceriaan ataupun kebahagiaan tanpa ibadah tadi. (“Majmu’ul Fatawa”/15/hal. 163-164).

(²) Ketaatan kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا﴾ [الأحزاب:70 -71].

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang lurus, niscaya Allah akan memperbaiki untuk kalian amalan-amalan kalian, dan mengampuni untuk kalian dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah beruntung dengan keberuntungan yang agung.”

Dan amalan itu menjadi besar sesuai dengan kadar niat shalih yang menyertainya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
«إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا ِلُكِّل امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللِه وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللِه وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ».

"Sesungguhnya amalan itu hanyalah sesuai dengan niatnya, dan hanyalah setiap orang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa hijrahnya itu kepada dunia yang akan diperolehnya atau perempuan yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang diniatkannya”. (HR. Al Bukhariy (1) dan Muslim (1907) dari Umar ibnul Khaththab رضي الله عنه).

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Ketahuilah bahwasanya haruslah bagi orang yang ingin menjalankan suatu ketaatan, sekalipun sedikit, dia itu harus menghadirkan niat, yaitu menginginkan amalannya tadi untuk mencari ridha Allah عز وجل , dan niatnya itu ketika beramal. Dan masuk ke dalam masalah ini seluruh peribadatan, seperti shalat, puasa, wudhu, tayammum, i’tikaf, haji, zakat, sedekah, memenuhi keperluan-keperluan, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memulai salam dan menjawabnya, mendoakan orang yang bersin, mengingkari kemungkaran, memerintahkan pada kebaikan, memenuhi undangan, menghadiri majelis-majelis ilmu, dzikir-dzikir, mengunjungi orang-orang baik, memberikan nafkah pada keluarga dan tamu, memuliakan keluarga orang yang dicintai dan sanak kerabat, mengkaji ulang ilmu, mendiskusikan ilmu, mengulang ilmu, mendidik dan mengajarkan ilmu, menelaah ilmu, menulis dan menyusun ilmu, berfatwa, dan amalan-amalan yang semacam itu, sampai seharusnya dia itu jika makan, minum atau tidur juga meniatkannya dalam rangka menguatkan diri untuk menaati Allah, atau mengistirahatkan badan untuk menggiatkannya lagi dalam menaati Allah. Begitu pula jika dia ingin menggauli istri meniatkan demi memberikan haknya, memperoleh anak yang shalih yang menyembah Allah ta’ala, menjaga kehormatan diri dari berpikir dan melihat kepada yang haram.

Barangsiapa terhalangi dari niat ini dalam amalan-amalan tadi; maka sungguh dia terhalangi dari kebaikan yang agung dan banyak. Dan barangsiapa mendapatkan taufiq untuk mengerjakan niat tadi; maka sungguh dia telah diberi keutamaan yang sangat besar.”
(“Bustanul Arifin”/An Nawawiy/hal. 8-9).
---------------

(“At Ta’aliqur Rasyidah ‘Ala Wasailis Sa’diyl Mufidah Lil Hayatis Sa’idah” (Judul bebas: “Sarana Menggapai Hidup Bahagia”)| Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy حفظه الله )
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy

No comments:
Write komentar
pergerakan

Archive

BIOGRAFI