Sunday, 8 January 2023

Memusatkan Perhatian Pada Amalan Hari Ini ]

 

 [Memusatkan Perhatian Pada Amalan Hari Ini]


Berkata Al Imam As Sa'di رحمه الله :
Yang keempat: Termasuk perkara yang menolak kegundahan dan kegoncangan adalah: pemusatan pikiran semuanya untuk mementingkan amalan (aktivitas) yang ada pada hari ini, dan tidak terlalu mementingkan amalan di masa mendatang, dan tidak pula memikirkan kesedihan yang ada di masa lalu. Maka dari itu Nabi ﷺ memohon perlindungan dari kegundahan dan kesedihan(¹).

Maka kesedihan terhadap perkara-perkara yang telah berlalu yang tidak mungkin dikembalikan lagi ataupun disusuli tidaklah bermanfaat. Dan terkadang kegundahan yang timbul disebabkan oleh ketakutan terhadap masa yang akan datang itu merugikan. Maka hendaknya seorang hamba itu menjadi anak bagi harinya itu (sibuk mengurus perkara yang ada sekarang –pen), dan mengumpulkan kerja keras dan kesungguhannya untuk memperbaiki harinya ini dan waktu yang hadir sekarang ini, karena menyatukan hati (memusatkan perhatian –pen) untuk mengurusi perkara yang ada sekarang ini akan menyebabkan sempurnanya amalan, dan terhiburnya hamba dari kegundahan dan kesedihan.

Nabi ﷺ jika berdoa dengan suatu doa atau membimbing umat beliau untuk memanjatkan suatu doa; beliau itu hanyalah mendorong untuk bersungguh-sungguh dan bekerja keras di dalam realisasi isi doanya tadi bersamaan dengan memohon pertolongan pada Allah dan mengharapkan karunia-Nya, serta mengosongkan diri dari perkara-perkara yang mana dia berdoa untuk dilindungi dari perkara-perkara tadi, karena doa adalah rekan seiring dari amalan. Maka hendaknya si hamba bersungguh-sungguh melakukan apa yang bermanfaat bagi agama dan dunianya, dan memohon pada Rabbnya kesuksesan dari maksudnya, serta memohon pertolongan kepada-Nya untuk menjalankan amalan tadi, sebagaimana sabda Nabi ﷺ yang bersabda:

«المُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ. اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاْسَتَعنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ».

"Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing dari mereka ada kebaikan. Bersemangatlah engkau pada apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan pada Allah, dan janganlah engkau merasa lemah. Lalu jika engkau tertimpa sesuatu, janganlah engkau berkata: “Andaikata aku mengerjakan demikian, niscaya terjadinya demikian dan demikian”, akan tetapi ucapkanlah: “(Ini) ketentuan Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti akan Dia kerjakan”, karena sesungguhnya “Andaikata” itu akan membuka amalan setan". (²)

Maka Rasulullah ﷺ menggabungkan antara perintah untuk bersemangat di dalam urusan-urusan yang bermanfaat di seluruh keadaan, dengan isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah tanpa tunduk kepada kelemahan yang berupa kemalasan yang merugikan, juga beliau menggabungkan dengan istislam (sikap tunduk pasrah kepada apa saja (takdir) yang telah berlalu dan sudah terjadi sambil bersaksi akan ketetapan dan ketentuan dari Allah.

Dan beliau menjadikan urusan-urusan itu terbagi menjadi dua bagian: bagian yang mungkin bagi hamba untuk mengusahakannya atau mengusahakan perkara yang mungkin untuk dicapai (berupa berbagai manfaat -pen), atau mungkin untuk ditolak atau diringankan (berupa berbagai kerugian -pen). Maka pada bagian itu si hamba diperintahkan untuk menampilkan kerja kerasnya dan memohon pertolongan kepada Sesembahannya.

Yang kedua adalah bagian yang tidak mungkin untuk diusahakan lagi, maka hendaknya si hamba merasa tentram, ridha dan pasrah.

Dan tiada keraguan bahwasanya memperhatikan kedua permasalahan yang mendasar ini merupakan sebab datangnya kegembiraan dan hilangnya kegundahan dan kegalauan.
---------------

*Catatan kaki Penulis ( Abu Fairuz ) :**
(¹) Dari Anas bin Malik رضي الله عنه:
أَنَّ النبيَّ ﷺ قَالَ لِأَبِي طَلْحَةَ: «اِلْتَمِسْ غُلَاماً مِنْ غِلْمَانِكُمْ يَخْدُمُنِيْ حَتَّى أَخْرُجُ إِلَى خَيْبَرَ». فَخَرَجَ بِيْ أَبُوْ طَلْFawaid Maktabah Fairuz Ad Dailamiy:
[Memusatkan Perhatian Pada Amalan Hari Ini]

Berkata Al Imam As Sa'di رحمه الله :
Yang keempat: Termasuk perkara yang menolak kegundahan dan kegoncangan adalah: pemusatan pikiran semuanya untuk mementingkan amalan (aktivitas) yang ada pada hari ini, dan tidak terlalu mementingkan amalan di masa mendatang, dan tidak pula memikirkan kesedihan yang ada di masa lalu. Maka dari itu Nabi ﷺ memohon perlindungan dari kegundahan dan kesedihan(¹).

Maka kesedihan terhadap perkara-perkara yang telah berlalu yang tidak mungkin dikembalikan lagi ataupun disusuli tidaklah bermanfaat. Dan terkadang kegundahan yang timbul disebabkan oleh ketakutan terhadap masa yang akan datang itu merugikan. Maka hendaknya seorang hamba itu menjadi anak bagi harinya itu (sibuk mengurus perkara yang ada sekarang –pen), dan mengumpulkan kerja keras dan kesungguhannya untuk memperbaiki harinya ini dan waktu yang hadir sekarang ini, karena menyatukan hati (memusatkan perhatian –pen) untuk mengurusi perkara yang ada sekarang ini akan menyebabkan sempurnanya amalan, dan terhiburnya hamba dari kegundahan dan kesedihan.

Nabi ﷺ jika berdoa dengan suatu doa atau membimbing umat beliau untuk memanjatkan suatu doa; beliau itu hanyalah mendorong untuk bersungguh-sungguh dan bekerja keras di dalam realisasi isi doanya tadi bersamaan dengan memohon pertolongan pada Allah dan mengharapkan karunia-Nya, serta mengosongkan diri dari perkara-perkara yang mana dia berdoa untuk dilindungi dari perkara-perkara tadi, karena doa adalah rekan seiring dari amalan. Maka hendaknya si hamba bersungguh-sungguh melakukan apa yang bermanfaat bagi agama dan dunianya, dan memohon pada Rabbnya kesuksesan dari maksudnya, serta memohon pertolongan kepada-Nya untuk menjalankan amalan tadi, sebagaimana sabda Nabi ﷺ yang bersabda:

«المُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ. اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاْسَتَعنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ».

"Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing dari mereka ada kebaikan. Bersemangatlah engkau pada apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan pada Allah, dan janganlah engkau merasa lemah. Lalu jika engkau tertimpa sesuatu, janganlah engkau berkata: “Andaikata aku mengerjakan demikian, niscaya terjadinya demikian dan demikian”, akan tetapi ucapkanlah: “(Ini) ketentuan Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti akan Dia kerjakan”, karena sesungguhnya “Andaikata” itu akan membuka amalan setan". (²)

Maka Rasulullah ﷺ menggabungkan antara perintah untuk bersemangat di dalam urusan-urusan yang bermanfaat di seluruh keadaan, dengan isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah tanpa tunduk kepada kelemahan yang berupa kemalasan yang merugikan, juga beliau menggabungkan dengan istislam (sikap tunduk pasrah kepada apa saja (takdir) yang telah berlalu dan sudah terjadi sambil bersaksi akan ketetapan dan ketentuan dari Allah.

Dan beliau menjadikan urusan-urusan itu terbagi menjadi dua bagian: bagian yang mungkin bagi hamba untuk mengusahakannya atau mengusahakan perkara yang mungkin untuk dicapai (berupa berbagai manfaat -pen), atau mungkin untuk ditolak atau diringankan (berupa berbagai kerugian -pen). Maka pada bagian itu si hamba diperintahkan untuk menampilkan kerja kerasnya dan memohon pertolongan kepada Sesembahannya.

Yang kedua adalah bagian yang tidak mungkin untuk diusahakan lagi, maka hendaknya si hamba merasa tentram, ridha dan pasrah.

Dan tiada keraguan bahwasanya memperhatikan kedua permasalahan yang mendasar ini merupakan sebab datangnya kegembiraan dan hilangnya kegundahan dan kegalauan.
---------------

*Catatan kaki Penulis ( Abu Fairuz ) :**
(¹) Dari Anas bin Malik رضي الله عنه:
أَنَّ النبيَّ ﷺ قَالَ لِأَبِي طَلْحَةَ: «اِلْتَمِسْ غُلَاماً مِنْ غِلْمَانِكُمْ يَخْدُمُنِيْ حَتَّى أَخْرُجُ إِلَى خَيْبَرَ». فَخَرَجَ بِيْ أَبُوْ طَلْ

حَةَ مُرْدِفِيَّ وَأَنَا غُلَامٌ رَاهَقْتُ الحُلُمَ، فَكُنْتُ أَخْدُمُ رسولَ الله ﷺ إِذَا نَزَلَ. فَكُنْتُ أَسْمُعُهُ كَثِيْراً يَقُوْلُ: «اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ».

Bahwasanya Nabi ﷺ bersabda pada Abu Thalhah: “Carilah seorang anak kecil dari anak-anak kalian untuk melayaniku sampai aku keluar menuju Khaibar”. Lalu Abu Thalhah keluar membawaku dan memboncengkan diriku dalam keadaan aku hampir baligh. Maka aku selalu melayani Rasulullah ﷺ jika beliau singgah. Maka aku sering mendengar beliau banyak berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, kepelitan, penakut, lilitan hutang, dan dikuasai oleh orang lain”. (HR. Al Bukhariy (2893)).
--------------------

(²) HR. Muslim (2664) dari Abu Hurairah رضي الله عنه.
Al ‘Allamah Ibnu Hubairah رحمه الله di dalam membicarakan awal dan akhir dari hadits tadi berkata: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwasanya kaum Mukminin itu terbagi menjadi dua: ada yang kuat dan ada yang lemah. Dan masing-masing dari mereka memiliki kebaikan; hanya saja Mukmin yang kuat itu lebih Allah cintai daripada Mukmin yang lemah. Yang demikian itu dikarenakan Mukmin yang kuat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bermanfaat bagi yang lain. Dan boleh jadi manfaatnya sampai kepada keluarganya, kaumnya dan umat di masanya.

Mukmin yang lemah terkadang manfaatnya itu hanya terbatas pada dirinya sendiri, dan dia lebih dikhawatirkan dikarenakan kelemahannya dia akan menjadi lemah dalam menjaga dirinya sendiri, sementara Mukmin yang kuat didorong untuk mengalahkan pasukan setan dengan ucapannya jika berkata, dan dengan perbuatannya jika berbuat.

Mukmin yang lemah itu lebih dikhawatirkan dia mengalami kerugian (yaitu: kalah atau terbunuh) di tempat-tempat yang mana dia itu lemah di situ; sehingga hal itu justru menyebabkan kalahnya pasukan kebenaran.

Kekuatan di dalam keimanan adalah: si Mukmin mengerjakan tuntutan-tuntutan syariat di posisi-posisinya, dan tidak gentar untuk mengambil keringanan-keringanan syariat pada posisi-posisi yang sesuai, dan dia tidak meninggalkan kaum Muslimin dari tangannya dalam rangka untuk menjaga agama mereka. Dia selalu memperhatikan mereka, yang lelaki maupun yang perempuan, yang alim maupun yang jahil dari mereka. Dia selalu memperhatikan pengaturan orang-orang awam, dan dia juga mengetahui rahasia-rahasia para ulama (hajat-hajat dan kekurangan mereka untuk kemudian dibantu tanpa disebarluaskan kekurangannya –pen), jika si Mukmin ini punya wewenang, karena jika tidak demikian; maka sebenarnya setiap orang yang punya hati itu juga layak untuk memiliki wewenang.

Adapun Mukmin yang lemah, maka dia kebalikannya; sudah cukuplah bahwasanya dia sendiri sudah selamat.

Adapun sabda beliau: “Dan janganlah engkau melemah (yaitu: bermalas-malasan –pen)”, yaitu: tidak layak untuk seorang Mukmin bermalas-malasan, padahal urusan tersebut masih mungkin untuk diusahakan.

Dan sabda beliau: “Jika engkau tertimpa sesuatu”, yaitu: jika engkau telah berusaha tapi usaha tadi kemudian tidak bermanfaat; maka sungguh engkau telah mendatangkan udzur dan sudah berhati-hati, karena orang yang meninggalkan kehati-hatian itu tidak akan memperoleh selain penyesalan.

Di dalam hadits tadi juga ada dalil yang menunjukkan disukainya untuk seseorang itu tidak banyak-banyak berkata “Andaikata”, karena ucapan tadi akan membuka amalan setan. Akan tetapi hendaknya dia menggantinya dengan berdzikir yang artinya: “Allah telah menetapkan ini, dan apa yang Dia kehendaki pasti akan dia lakukan”. Dan dzikir itu adalah pengganti yang terbaik”.
(Selesai penukilan dari “Al Ifshah ‘An Ma’anish Shihah”/Ibnu Hubairah/8/hal. 44-45).

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Makna hadits ini adalah: “Bersemangatlah engkau untuk menjalankan ketataan kepada Allah تعالى untuk berminat kepada karunia yang ada di sisi Allah, dan mohonlah pertolongan dari Allah ta’ala untuk untuk menjalankan itu, dan janganlah menjadi lemah, ataupun  bermalas-malasan di dalam melakukan ketaatan ataupun memohon pertolongan”. (“Syarh Shahih Muslim”/ 16/ hal. 215).

Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbaliy رحمه الله berkata: “Adapun memohon pertolongan kepada Allah عز وجل bukannya memohon kepada yang lain, yaitu: dari kalangan para makhluk; maka yang demikian itu disebabkan karena hamba itu terlampau lemah untuk bersendirian di dalam mendatangkan kemaslahatan-kemaslahatannya dan menolak kerugian-kerugiannya. Dan tidak adalah yang mampu menolong dia untuk meraih maslahat-maslahat agama dan dunianya selain Allah عز وجل. Maka barangsiapa ditolong oleh Allah; maka dialah yang tertolong. Dan barangsiapa ditelantarkan oleh-Nya; maka dialah yang tertelantarkan. Dan ini adalah realisasi dari makna ucapan:
«لا حول ولا قُوَّةَ إلا بالله».
“Tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah”.

Karena makna kalimat tadi adalah: hamba tidak akan berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, dan dia tidak punya kekuatan untuk itu kecuali dengan pertolongan Allah. Dan ini adalah kalimat yang agung, salah satu dari perbendaharaan Jannah.

Maka hamba memerlukan untuk senantiasa memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengerjakan apa saja yang diperintahkan dan meninggalkan apa saja yang dilarang, serta bersabar terhadap apa saja yang ditakdirkan semuanya, di dunia, ketika datangnya kematian, dan dari kengerian alam kubur setelah itu, serta pada Hari Kiamat. Dan tidak ada yang mampu menolongnya untuk itu selain Allah عز وجل. Maka barangsiapa merealisasikan isti’anah (memohon pertolongan) untuk menjalankan itu semua; Allah akan menolongnya.

Dan di dalam hadits yang shahih dari Nabi ﷺ yang bersabda (yang artinya): “Bersemangatlah engkau kepada apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah engkau menjadi lemah”. Barangsiapa tidak mau mohon pertolongan kepada Allah, tapi dia minta pertolongan kepada yang selain-Nya; Allah akan menyerahkan diri orang itu kepada pihak yang dia mintai tolong tadi dan jadilah dia akan tertelantarkan”.
(Selesai dari “Jami’ul Ulum Wal Hikam”/2/hal. 572-573).
-------------------

(“At Ta’aliqur Rasyidah ‘Ala Wasailis Sa’diyl Mufidah Lil Hayatis Sa’idah” (Judul bebas: “Sarana Menggapai Hidup Bahagia”)| Asy Syaikh Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Qudsiy Al Jawiy حفظه الله )
Sumber Channel Telegram: fawaidMaktabahFairuzAddailamiy

No comments:
Write komentar

Archive

BIOGRAFI