Repost by: Alfaruq’s Blog
Sumber: Salafy Solok
TAUBAT DA’I BID’AH & HIZBIYYAH
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على من لا نبيَّ بعده, أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله
Sebagaimana dimaklumi sebagai seorang muslim terlebih sebagai penuntut ilmu, seharusnyalah kita tidak mencari jalan sendiri dalam bersikap dan berpendapat terkait perkara syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk diantaranya adalah apa-apa yang terkait dakwah dan para pengembannya. Karena itulah kita menjumpai para ulama kita memberikan berbagai arahan dan penjelasan yang terkait perkara tersebut secara umum ataupun terperinci.
Masalah penyikapan taubat ahlu bid’ah & hizbiyyah terlebih lagi para da’inya adalah salah satu perkara yang disinggung mereka. Kita mengetahui bagaimana keutamaan taubat dan kita bergembira ketika seorang hamba menyadari kesalahannya dan rujuk ke jalan yang semestinya. Namun di sisi lain, kelalaian dan sifat bermudah-mudahan dalam menyikapi masalah ini bisa membuka pintu kemudharatan bagi kaum muslimin.
Karena itulah kita melihat bahwasanya para ulama tidak mencukupkan dengan sekedar pengakuan taubat dari seorang ahli bid’ah, perlu ada pembuktian dan penjelasan yang mengikutinya.
Berikut beberapa penukilan dari sekian banyak penjelasan ulama tentangnya :
Sulaiman bin Yasar –Rahimahulloh- berkata: "Bahwasanya seorang lelaki dari Bani Tamim –biasa dipanggil dengan Shobigh bin 'Asal- datang ke Madinah, dan bersamanya kitab-kitab. Kemudian dia mempertanyakan tentang (ayat-ayat) mutasyabihat dari Al Qur'an. Lalu perkara itu sampai ke 'Umar. Maka diutuslah utusan kepadanya (untuk memanggilnya), sementara dia (Umar) menyiapkan dua pelepah korma. Ketika (shobigh) masuk, dia (Umar) dalam keadaan duduk. Lalu 'Umar berkata padanya: "Siapa kamu?" Dia berkata: "Saya Shobigh". Kemudian 'Umar berkata: "Saya 'Umar hamba Alloh" Lalu Umar mengulurkannya dan memukul dengan kedua pelepah korma sampai shobigh terluka, sehingga mengucur darah dari wajahnya. Kemudian dia (Shobigh) berkata: "Cukup wahai Amirul Mukminin, sungguh telah hilang apa yang ada di kepalaku".
Di riwayat lain, "Kemudian 'Umar mengirim (surat) kepada penduduk Bashroh untuk tidak bermajelis dengannya". Atau berkata (Sulaiman): "Dia menulis kepada kami agar tidak bermajelis dengannya", dan berkata: "Kalau dia duduk pada kita dan kita seratus orang maka kita akan saling berpecah" [Al Ibanah Kubro karya Ibnu Baththoh 2/309]
Lihatlah bagaimana Amirul Muminin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu tidak menelan mentah-mentah pengakuan Shobigh akan lenyapnya penyimpangannya, justru ‘Umar memperingatkan umat untuk tetap di atas kewaspadaan. Inilah hakikat nasehat kepada kaum muslimin. Sehingga tidak mengherankan kalau kita menjumpai di kalangan ulama ada mempersyaratkan tempoh tertentu untuk melihat kebenaran taubatnya.
Imam Ahmad –Rahimahulloh- –pada riwayat Al Marrudzy-, berkata tentang taubat mubtadi': "Apabila seorang mubtadi' taubat, ditunggu setahun sampai sah taubatnya". Al Qodhi Abul Husain setelah menyebutkan riwayat ini, berkata: "Secara lahiriyyah, lafaz (perkataan Imam Ahmad) adalah penerimaan taubat mubtadi' setelah pengakuannya, serta menjauhi orang-orang yang dulu menjadi temannya. Dan itu telah berlalu selama satu tahun". ['Adabus Syar'iyyah 1/ 145]
Tentunya dimaklumi bahwasanya masa setahun bukanlah ketentuan baku, karena diperlukan dalil sebagai landasannya. Akan tetapi penukilan ini memberikan isyarat bahwasanya perlu waktu untuk melihat keabsahan taubat. Karena memang seorang ahli bid’ah terlebih da’i bid’ah perlu mengikis penyakit-penyakit yang menghinggapi pemahamannya di hadapan seorang sunny salafy.
Ayyub As Sikhtiany -rahimahulloh-, berkata: "Taubat dari sebuah keyakinan yang sering menyertainya pelakunya serta mengetahuinya dengan dalil, membutuhkan sesuatu yang mendekatinya (untuk menyaingi pemahaman tersebut-pent) berupa pengetahuan dan dalil-dalil". [Adabusy Syar'iyyah Fasl Fi Wujubit Taubah wa Ahkamuha wa Ma Yutabu Minha]
Kemudian di antara upaya untuk menunjukkan keabsahan taubatnya. Adalah penjelasannya terhadap perkara-perkara yang dia mengaku taubat darinya, terutama sekali kepada orang-orang yang melihat dan mendengar penyimpangannya.
Ibnu Qoyyim –Rahimahulloh-, berkata: "Taubat para fasik dari sisi aqidah yang rusak (maksudnya mubtadi'-pent) adalah dengan semata-semata mengikuti sunnah.
Namun tidak cukup dari mereka dengan (perbuatan) itu saja, sampai mereka menjelaskan kerusakan yang dahulu mereka lakukan berupa kebid'ahan. Dengan demikian tobat dari dosa adalah dengan melakukan kebalikannya. Karena Alloh Ta'ala menyaratkan -pada tobat orang-orang yang menyembunyikan apa yang Alloh turunkan berupa penjelasan dan petunjuk- adanya penjelasan. Disebabkan dosa mereka (muncul) karena penyembunyian, maka taubat mereka adalah dengan cara penjelasan.
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ (159) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيم}
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk,setelah Kami meneerangkan itu kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang bisa melaknati. Kecuali orang-orang yang telah taubat dan melakukan perbaikan dan menerangkan, maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah At Tawwab dan Ar Rohim (Dzat Yang Maha Penerima taubat dan Maha Pemberi rahmat)"
(Al Baqoroh 159-160)
Dosa mubtadi' diatas dosa orang yang menyembunyikan (al haq). Karena yang itu (dosanya) menyembunyikan (al haq) saja, sementara yang ini menyembunyikan (al haq) sekaligus menyeru kepada (perkara) yang bertentangan dengan (al haq). Maka setiap mubtadi' adalah penyembunyi (al haq), dan tidak sebaliknya. [Madarijus Salikin 1/ 290]
Inilah yang mendasari sikap Syaikh bin Baaz Rahimahullah, ketika 'Abdur Rohman bin 'Abdul kholiq melakukan kesalahan dan meminta nasehat kepada beliau, maka Syaikh Bin Baaz menuntutnya untuk mengumumkan rujuk dan tobatnya di buletin-buletin lokal di Kuwait dan Arab Saudi. Bahkan setelah itu beliau menuntutnya untuk menulis tulisan khusus yang berisi rujuknya dia dari kesalahan-kesalahan yang dia telah terjerumus di dalamnya [Lihat Majmu' Fatawa wa Maqolat 8/ 242-243]
Seandainya seorang da’i bi’dah langsung disambut, dirangkul di barisan da’i sunnah, maka ahlussunnah yang menghadiri majelisnya tidak akan aman dari susupan penyakit-penyakit lamanya, walaupun kitab--kitab yang diajarkannya adalah kitab ulama sunnah.
Hal ini sebagaimana ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab An-Najdy di Kitabut Tauhid, setelah beliau membawakan hadits Abu Waqid Al-Laitsy tentang kisah Dzatu Anwath, beliau Rahimahullah berkata: "Sesungguhnya seseorang yang berpindah dari kebatilan yang hatinya telah terbiasa dengannya, tidak akan aman ada pada hatinya sisa-sisa dari kebiasaannya itu".
Ini hanyalah beberapa lembaran untuk mengingatkan setiap sunny salafy agar berhati-hati menjaga agamanya, karena memang perkara seperti inilah yang menjadi salah satu celah menyusupnya pemikiran dan metode yang menyimpang ke barisan ahlissunnah sehingga muncul bibit pertikaian di antara mereka.
الحمد لله رب العالمين
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك
Asal tulisan ini adalah salah satu bab dari artikel “Mengekang Lidah Tak Bertulang” yang ditulis di Dammaj 18 Jumadil Ula 1430, kemudian dilengkapi pada 16 Rajab 1440
📝 Akhukum fillah Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy
No comments:
Write komentar