Repost by: AlFaruq’s Blog
Sumber: SalafySolok Blog's
بسم الله الرحمن الرحيمإِنَّ الْحَمْدَ لِله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ مَنْ يَهْدِهِ الله فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, أَمَّا بَعْدُ
Sesungguhnya segala pujian hanyalah bagi Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita meminta perlindungan-Nya dari kerusakan diri-diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita.
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang bakal menyesatkannya, dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka tidak akan ada yang bisa menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, kemudian setelah itu: Kita tentunya telah sama-sama mengetahui hukum Islam seputar gambar makhluk bernyawa (baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi).
Ada suatu poin dalam masalah tersebut yang terkait dengan pembahasan kita ini yaitu hukum boneka.
‘Aisyah Rodhiyallahu ’Anha mengatakan:
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي
فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي
“Dahulu aku bermain boneka di sisi Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan aku memiliki teman-teman sebaya yang bermain denganku. Jika Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk (ke rumah ‘Aisyah), teman-temanku bersembunyi darinya (di rumah-rumah mereka). Maka beliau pun mengutus mereka satu-persatu kepadaku untuk bermain denganku”. (HR Bukhory – Muslim)
Dalam riwayat lain ‘Aisyah Rodhiyallahu’Anha mengatakan bahwa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam pulang dari perang Tabuk –atau Khaibar (perawi ragu –pent)-. Pada suatu tempat di kamar ‘Aisyah atau suatu lubang di dinding kamar, terpasang kain penutup. Kemudian datanglah angin bertiup sehingga tersingkap salah satu sisi kain penutup tersebut dari boneka yang dimainkan ‘Aisyah. Maka beliau bertanya:
قمَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟
“Apa ini ‘Aisyah?”. ‘Aisyah menjawab: “Anak perempuanku”. Lalu beliau Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat kuda-kudaan yang memiliki dua sayap dari dari kain tambalan. Beliau Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya:
مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسْطَهُنَّ؟
“Apa yang saya lihat ini, yang berada di tengah-tengah?”. ‘Aisyah menjawab: “Kuda”. Beliau Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya:
وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ؟
“Apa ini yang berada di atasnya?. ‘Aisyah menjawab: “Dua sayap”. Beliau Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ؟
“Apakah kuda memiliki dua sayap?”. ‘Aisyah menjawab: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Sulaiman punya kuda yang memiliki sayap-sayap?”.
Aisyah rodhiyallahu ‘Anha berkata: “Maka Rasulullah tertawa sampai-sampai aku melihat gerahamnya” (HR Abu Daud, An-Nasa’iy dll, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Dengan adanya hadits-hadits ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
Pendapat pertama: Hadits-hadits ini menjadi pengkhusus akan bolehnya gambar atau mainan makhluk bernyawa yang diperuntukkan bagi anak perempuan. Ini adalah pendapat Al-Qodhi ‘Iyadh, Al-Khoththoby, Al-‘Ainy, Al-Qurthuby dll.
Pendapat kedua: Hadits-hadits ini terjadi sebelum turunnya larangan gambar. Adapun setelah turun larangan gambar maka dihapus hukum akan bolehnya. Ini adalah pendapat Ibnu Baththol, Ibnul Jauzy, Al-Mundziry dll.
Pendapat ketiga: Larangan tentang gambar tetap berlaku. Boneka pada hadits tersebut adalah boneka yang tak berbentuk binatang bernyawa (misalnya tidak memiliki sesuatu seperti kepala atau memang tidak berkepala sama sekali). Faidah yang diambil faidah di hadits itu hanyalah tentang bolehnya bermain dengan boneka. Ini adalah pendapat Al-Mawardy, Ibnu Muflih, As-Safariny, dan ini yang zhohir dari pendapat Imam Ahmad dll.
[Lihat Fathul Bary bab Al-Inbisath ilan Naas, ‘Umdatul Qori’, Al-Jami’ li Akamil Qur’an, Al-Ahkamul Sulthoniyyah, Adabusy Syar’iyyah, Ghidzaul Albab]
Pendapat kedua dan ketiga, kesimpulan akhirnya sama bahwa boneka dengan bentuk makhluk bernyawa hukumnya sama dengan hukum tiruan makhluk bernyawa yang lain.
Adapun masalah pengkhususan sebagaimana yang dikemukakan oleh pemilik pendapat pertama maka dituntut kepada mereka untuk mendatangkan dalil bahwa boneka ‘Aisyah benar-benar makhluk bernyawa, karena pernyataan ini tidak didapatkan dalam konteks hadits. Justru –pada kenyataannya- bisa dipahami sebaliknya. Karena dimaklumi bahwasanya anak-anak memiliki imajinasi tinggi untuk mewujudkan apa yang ada dalam bayangannya ke dalam mainannya, walaupun tidak ada kemiripan antara apa yang ada dalam bayangan mereka dan mainannya. Tidakkah kita melihat ketika mereka menekuk bagian depan pelepah pisah yang dibayangkan sebagai leher kuda, mereka sudah simpang siur menunggangi “kuda”nya kesana kemari?
Sekitar enam puluh tahun lalu (22/5/1373 H), Syaikh Muhammad bin ‘Ibrohim bin ‘Abdil Lathif Rahimahullah -menyorot permasalahan boneka-boneka masa sekarang- mengatakan: “Terdapat perbedaan hukum antara mainan kekinian ini dengan mainan ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha. Dimana pada mainan kekinian ini terdapat hakikat penyerupaan, menandingi dan mirip dengan makhluk ciptaan Allah karena dia adalah bentuk makhluk bernyawa dari segala aspek. Boneka ini memiliki tampilan yang lebih bagus, buatan yang rapi, dan kilauan yang mengagumkan, tidak ada dari tiruan makhluk bernyawa yang diharamkan syari’at yang suci ini, yang sepertinya. Penamaannya dengan nama mainan atau kecilnya ukurannya tidak mengeluarkannya dari tiruan makhluk bernyawa, karena sesuatu dinilai dari hakikatnya bukan dari namanya. –Sampai perkataan beliau-
Barangsiapa yang menyangka bahwa mainan ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha adalah tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, maka wajib baginya mendatangkan dalil, dan dia tidak akan memiliki jalan untuk itu. karena mainan ‘Aisyah tidaklah diukir, tidak dipahat dan bukan terbuat dari material yang sesuai. Bahkan –secara zhohir- bonekanya terbuat dari bulu, kapas, potongan kain, kayu bulat atau tulang yang diikat melintang dengan kayu kecil, modelnya seperti mainan yang ada pada anak-anak perempuan di negeri-negeri arab yang jauh dari peradaban dan pusat kota, dimana boneka tersebut tidak menyerupai tiruan yang diharamkan kecuali kadar kemiripan yang sangat jauh sekali. Hal ini sebagaimana di Shohih Bukhory bahwa dahulu para shohabat melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Apabila anak-anak mereka meminta makan, maka meraka memberikan mainan dari bulu untuk menyibukkan mereka. Juga di Sunan Abu Daud beserta penjelasan tentang hadits ‘Aisyah berupa penyebutan kuda yang memiliki empat sayap dari kain perca. Demikian pula diketahui pada kondisi kehidupan orang arab yang mayoritasnya buatan mereka kasar dalam masalah gerabah, kendaraan, peralatan termasuk alat bermain dan sebagainya”. [Fatawa wa Rosa’il Syaikh Muhammad bin ‘Ibrohim bin ‘Abdil Lathif 1/180]
Syaikh Hamud At-Tuwaijiry Rahimahullah mengatakan: Barangsiapa yang mengklaim bahwasanya permainan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha merupakan bentuk shuuroh (gambaran makhluk bernya) yang hakiki maka wajib baginya menegakkan dalil atas pernyataan tersebut dan dia tidak akan mendapatkan jalan untuk itu. Bahkan zhohirnya –wallahu a’lam- bahwa mainan ‘Aisyah seperti permainan anak-anak perempuan arob di zaman kita. Mereka mengambil ranting, kayu, kain perca atau sejenisnya kemudian mengikatkan kayu melintang di bagian agak ke atas, lantas memasangkan baju, lalu meletakkan di bagian atas seperti khimar (penutup kepala) perempuan. Terkadang mereka membuatnya seperti model bayi dalam gendongan dan bermain dengannya, mereka menamakan “anak perempuan”. Sungguh seperti inilah yang mencocoki apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan teman-temannya Radhiyallahu ‘Anhunna.
Sungguh kami telah menyaksikan bahwasanya anak-anak perempuan mewarisi permainan seperti yang kami sifatkan dari zaman ke zaman. Bukanlah kemungkinan yang jauh kalau warisan ini telah berlangsung lama dan terus berlangsung di kalangan anak-anak perempuan arob sejak zaman jahiliyyah sampai zaman kita ini wallahu a’lam.
Namun tidaklah semua anak-anak perempuan arob di zaman kita ini bermain dengan mainan yang kita sifatkan tersebut. Banyak dari mereka yang bermain dengan tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, berpa bentuk anak perempuan dan selainnya dari jenis-jenis binatang. Mereka adalah anak-anak yang telah masuk kepada mereka –atau keluarga mereka- kebiasaan metropolis dan orang-orang eropa dan banyak bergaul serta menyerupai orang-orang a’jam (bukan arob). Adapun anak-anak perempuan yang selamat dari “kotornya” kebiasaan metropolis dan orang-orang eropa dan dari pergaulan serta penyerupaan dengan orang-orang a’jam, maka anak-anak perempuan itu masih terus berada di atas model boneka anak-anak perempuan arob, sebagaimana yang telah kami sifatkan sebelumnya. Sebagaimana terdapat perbedaan yang jauh antara boneka sekarang dengan boneka anak-anak perempuan arob –baik dari hakikat maupun bentuk- maka hukumnya juga berbeda.
Adapun mainan (anak-anak perempuan arob) yang telah kami sifatkan, maka tidak apa-apa dibuat, disimpan dan dimainkan, karena pada hakikatnya boneka mereka bukanlah bentuk makhluk bernyawa. Adapun permainan yang berbentuk anak perempuan dan jenis-jenis binatang maka membuatnya haram, jual-belinya haram, menyimpan dan memainkannya haram. Menghilangkannya wajib bagi orang yang memiliki kemampuan, karena boneka itu tergolong bentuk arca, dan Rasulullah telah menyuruh untuk menghilangkannya –sebagaimana terdahulu- di hadits ‘Ali Rodhiyallahu ‘Anhu.
Pembicaraan mengenai kuda yang ada pada mainan ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, sebagaimana pembicaraan mengenai boneka perempuannya. Barangsiapa yang mengklaim bahwa kuda mainan itu adalah bentuk tiruan yang hakiki yang memiliki kepala, maka dia wajib mendatangkan dalil untuk itu, dan dia tidak akan mendapatkan jalannya.
Zhohirnya wallahu A’lam, “kuda” tersebut seperti mainan anak-anak arab di zaman kita dimana mereka memakai tulang dan semisalnya, kemudian meletakkan di atasnya seperti pelana, lalu mereka namakan keledai atau terkadang mereka menamakannya kuda.
-Sampai perkataan beliau-
Yang menunjukkan bahwa “kuda” ‘Aisyah seperti mainan anak-anak arob dan bukan bentuk tiruan yang hakiki, bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, “Apa ini?”. Maka dia menjawab: “Kuda”. Kalaulah itu bentuk tiruan yang hakiki maka tentunya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam telah tahu dari pertama kali dan tidak perlu menanyai ‘Aisyah. Demikian juga pertanyaan beliau Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang mainan-mainan ‘Aisyah, menunjukkan kalau itu bukanlah tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, kalaulah itu hakiki tentulah tidak butuh kepada pertanyaan, wallahu a’lam.
Sisi kedua bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingkari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha yang memasang tirai bergambar makhluk bernyawa (pada hadits yang lain –pent), berubah warna wajah beliau ketika melihatnya, kemudian beluai mengambilnya dengan tangannya yang mulia dan menyobek tirai itu –telah lewat hadits-hadits tentangnya-. Ini menunjukkan kalau mainan ‘Aisyah bukanlah tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, kalaulah itu hakiki tentulah perkara itu lebih utama untuk diingkari daripada gambar yang dua dimensi di tirai. Karena tiruan yang memiliki jasad (tiga dimensi) lebih dekat penyerupaannya dengan hewan-hewan dan lebih menandingi ciptaan Allah Ta’ala daripada gambar dua dimensi, sehingga keharamannya lebih parah dan lebih utama untuk diingkari dibanding gambar dua dimensi”. [I’lamun Nakiir ‘Alal Muftinina bit Tashwir 99 dst].
Penjelasan di atas, sekaligus menjadi penguat bagi pendapat ketiga dibanding pendapat kedua, hal itu dikarenakan kemungkinan pendapat kedua baru bisa berlaku ketika ada dalil yang jelas bahwa boneka ‘Aisyah memang tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, sementara tidak ada dalil yang terang tentang itu, bahkan konteks hadits menunjukkan sebaliknya.
Wallahu A’lamu bish showaab
Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy
Ditulis di Solok – Sumatera Barat
27 Muharram 1441
No comments:
Write komentar